Sitogol Tingon Mandailing Godang Do




Sebagai salah satu kelompok etnik di Sumatera Utara, masyarakat Mandailing memiliki berbagai corak nyayian dan mereka menyebutnya ende. Seorang ibu misalnya, bernyanyi sambil menimang anaknya agar tertidur disebut ende bue-bue. Begitu pula, ketika seorang ayah misalnya mengungkapkan rasa iba lewat nyanyian kepada anaknya yang ditinggal mati oleh ibunya dinamakan ende uro-uro.

Ende mamuro dapat hadir di dangau ketika seorang petani menghalau burung-burung pipit
yang memakan padi di sawahnya. Adapula seorang penjaja atau penjual ngiro (air nira) sewaktu ari poken (hari pekan) berteriak: “ … ngiro na … ngiro na !!! patalak … patalak … so u patungkap…” adalah termasuk “near song” (Jan Harold Brunvand, 1968), adalah nyanyian yang lebih mementingkan “lirik” daripada lagunya, yang lebih dikenal dengan sebutan “peddler’s cries”. Selain itu, di Mandailing ada pula nyanyian yang hadir bersama-sama tarian adapt tortor, yaitu jeir yang diiringi ensambel musik ondang Boru.

Kali ini kita mencoba memaparkan sedikit tentang dua nyanyian rakyat Mandailing. Pertama, ungut-ungut yang terdapat di Mandailing Julu, dan kedua, sitogol dari Mandailing Godang. Yang mana ungut-ungut biasanya dapat hadir di berbagai tempat dan kesempatan. Sedangkan sitogol biasanya dilantunkan seseorang (pemuda) dari atas tor (bukit-bukit kecil) yang seringkali diselang-selingi dengan tiupan alat musik olonglio (uyup-uyup durame) dan sesekali dosik (suitan) agar dapat didengar dan menjadi perhatian sang gadis pujaan yang sedang bekerja di sawah yang terletak di lembah bukit-bukit itu.

Lihat juga catatan Mandailing Bukan Batak untuk melengkapi pemahaman tentang sejarah asal usul mandailing dan batak.

Kerancuan

Dalam syair lagu berjudul ”Sitogol sian Mandailing Godang” yang diciptakan oleh Nahum Situmorang dikatakan bahwa "Sitogol dari Mandailing Godang sama dengan Onang-onang” yang terdapat di Angkola. Sepengetahuan penulis bahwa kedua nyanyian itu jauh berbeda, baik dari aspek musikalitasnya maupun dalam hal penggunaannya .

Sitogol dari Mandailing Godang memiliki gaya ritmis dan melodis yang jauh berbeda dengan Onang-onang dari Angkola, dan Sitogol tidak pernah hadir dalam konteks upacara adat perkawinan misalnya, sedangkan Onang-onang dari Angkola itu merupakan ”nyanyian adat” yang dihadirkan bersama tari adat tortor dengan iringan ensembel musik Gondang Dua. Meskipun ada Onang-onang yang dinyanyikan bukan dalam konteks upacara adat, namun penggarapan gaya musikalnya tidak jauh berbeda – hanya teks atau syairnya saja yang bereda -- dalam konteks upacara adat. Jadi jelas bahwa ende sitogol dari Mandailing Godang ini tidak sama dengan Onang-onang dari Angkola.

Dalam hal ini, Angkola adalah satu kelompok etnik tetangga terdekat kelompok etnik Mandailing di Tapanuli Selatan. Boleh dikatakan bahwa antara kedua kelompok etnik ini lebih banyak dijumpai persamaan budaya daripada perbedaannya. Sementara Tapanuli Selatan itu sendiri adalah sebutan untuk satu wilayah administratif pemerintahan sekarang yang berstatus kabupaten yang merupakan warisan kolonial Belanda. Oleh karena itu tidak akan pernah ada ”GONDANG TAPANULI SELATAN (seni-budaya Tapanuli selatan).

Aspek tekstual

Baik ungut-ungut maupun sitogol memiliki teks atau syair berbahasa Mandailing dan umumnya berisi keluh-kesah (ungkapan perasaan) tentang cinta atau pun kemelaratan. Karena itu keduanya lebih mementingkan lirik ketimbang lagunya.

Keduanya nyanyian tersebut awalnya tidak memiliki jumlah baris (bait) yang tetap karena dinyanyikan secara spontan. Ada kalanya 4 baris (berstruktur pantun), 5 baris,
6 baris dan sebagainya, namun dalam perkembangan selanjutnya ada kecenderungan berstruktur pantun. Untuk ungut-ungut yang bersajak ab-ab, dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran, sedang baris ketiga dan keempat merupakan isi. Adapun teks sitogol yang berstruktur pantun (atau tidak) cenderung pula secara keseluruhan merupakan isi, tanpa ada sampirannya.

Di dalam teks nyanyian ungut-ungut dan sitogol terdapat banyak kata 'mada', 'ile','baya', 'da' dan lain sebagainya yang tidak mengandung arti (meaningless syllables), yang sama kedudukannya dengan kata 'lah', 'kah', 'yang' atau pun 'wahai dalam Bahasa Indonesia. Kata-kata atau silabel ini digunakan untuk mendukung ”efek
artistik” dan terkadang untuk penyesuaian jumlah silabel dalam setiap ”rentangan
melodi” (phrase). Hal seperti ini pertama sekali dirumuskan oleh budayawan Drs. Z.
Pangadwin Lubis di dalam makalahnya : "Penelitian Tekstual Dalam Jeir: Suatu
Pengamatan Awal yang dipresentasikan pada Temu Wicara Etnomusikologi III Tahun
1987 di Fakultas Sastra USU Medan.

Apabila diperhatikan pada susunan atau jumlah silabel yang dinyanyikan untuk setiap
rentangan melodi, ternyata tidak memiliki jumlah yang sama. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah silabel untuk setiap rentangan melodi tidak mengikat secara baku. Hal ini dapat membentuk kalimat-kalimat yang panjang atau pendek di dalam setiap rentangan melodi. Penyesuaian kalimat panjang atau pun pendek di dalam setiap rentangan melodi ketika menyanyikan ende sitogol atau ungut-ungut
tergantung pada ”kepiawaian” si parende (penyanyi) itu sendiri.

Aspek Musikal

Ungut-ungut dinyanyikan secara solo oleh pria dengan tempo sedang, memiliki gaya melodis yang statis (heightened speech), tanpa meter (heterometris) dan biasanya sebagai pengiring adalah alat musik tiup suling atau salung. Sementara sitogol juga dinyanyikan secara solo oleh pria dengan tempo sedang, yang terkadang diselang-selingi alunan alat musik olonglio dan sesekali dosik (suitan). Di samping itu, sitogol memiliki kantur melodis ascending (naik) dan juga tanpa meter(heterometris). Perbedaan mendasar, dimana ungut-ungut dinyany-ikan dengan lembut, sedankan sitogol diteriakkan kuat karena dinyanyikan dari atas bukit agar dapat didengar gadis pujaan yang sedang bekerja di sawah, di lembahnya, bukit-bukit tempat ia melantunkan sitogol.

Baik ungut-ungut maupun sitogol cenderung berbentuk strophic karena keduanya selalu mengulang-ulang formula (bentuk) melodi yang sama tetapi dengan teks nyanyian yang baru. Ri zaIdi Siagian MA (Ketua Jurusan Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU) mengemukakan bahwa musik (vokal) seperti ini disebut "LOGOGENIC". Artinya lebih mengutamakan teks nyanyian untuk meng-ungkapkan ide ketimbang kepuasan aspek musikalnya.

Penutup

Ungut-ungut dan sitogol adalah nyanyian rakyat Mandailing (disebut ende saja oleh mereka) yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang berbentuk tradisional karena ada dan eksis dalam masyarakat Mandailing sejak dulu sampai sekarang. Juga banyak memiliki varian dan beredar secara lisan di dalam masyarakat Mandailing.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa nyanyian rakyat Mandailing yang dua ini dapat dikategorikan ke dalam nyanyian rakyat yang bersifat liris sesungguhnya (James Danandjaya 1984; 14153). Karena liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang bersambung, dan dominan mengungkapkan perasaan sedih, putus asa karena kehilangan sesuatu, atau cinta atau pun kemelaratan yang menggambarkan keinginan-keinginan manusia yang tidak pernah tercapai.


Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991
Share on Google Plus

About Nilton

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Comment/s:

Post a Comment

Jika ada masukan, silahkan ketik di bawah ini. Apa yang saya anggap benar sering kali ternyata salah. Kebaikan buat saya untuk tahu kebenaran dalam versi anda.